Pendingin Ruangan dan Perang Dunia Ketiga

(dimuat Media Indonesia, 9 Oktober 2016)

Screenshot_2018-03-17-14-49-45_1.jpg

LELAKI itu masuk ke bus nomor 18 yang berhenti di Halte Jefferson Boulevard, tak jauh dari supermarket Kroger dan toko elektronik Best Buy di pinggiran Louisville. Ia mengangkat kardus lumayan besar, berwarna putih dan hijau muda. Suara bus menderu-deru, tapi aku bisa mendengar suara napasnya yang terengah-engah. Bulir-bulir keringat meluncur dari dahi dan sela-sela rambut pirangnya yang panjang sebahu.

Setelah meletakkan kardus di kursi kosong, ia duduk di hadapanku. Ia mengenakan kaos hijau muda, celana jins hitam, dan sepatu kets putih. Tanpa menyapaku tiba-tiba ia berbicara dengan suara lumayan keras. ”Hari ini istriku pasti senang melihat aku membawa ini. Perempuan harus dibahagiakan. Tak mudah aku menaklukkannya dulu. Kuharap ia tak marah lagi. Aku sudah keluar-masuk tujuh toko, termasuk toko elektronik Best Buy. Baru di toko ketujuh aku menemukan ini. Persediaan di toko ketujuh banyak. Sepertinya pemiliknya paham manusia sekarang makin bergantung pada benda ini.”

Aku hanya tersenyum, tak menanggapi. Lelaki itu terus bicara. Beberapa hari terakhir, menurutnya, istrinya sering mengomel dan membuatnya tak betah di rumah. Istrinya bahkan menolak diajak berduaan di kamar. “Kita berpisah saja kalau kau tak bisa membelinya,” begitu kata istrinya sebagaimana lelaki itu menirukannya. “Aku harus memenuhi keinginannya karena aku tak mau bercerai dengannya. Yang ia inginkan hanya ini,” katanya sambil menunjuk kardus di sampingnya dan membetulkan letak kacamata bulatnya. Aku mulai terganggu oleh ocehan lelaki sok akrab itu. Tapi ia tak peduli. Dari balik bibirnya yang kecil, kata-kata seperti siap ia muntahkan.

Aku makin terganggu ketika ia memukuli kardus itu sambil menyanyikan sebuah lagu. Sebaiknya berganti bus, pikirku. Tapi setelah aku lihat jadwal, bus berikutnya masih tiga puluh menit lagi. Akhirnya aku putuskan tetap dalam bus dan membayangkan segera sampai di apartemen kampus Herman and Heddy Kurz hall di 1900 Fourth Street, tempat tinggalku.

“Jika udara dalam kamarku sejuk seperti dalam bus ini, istriku pasti senang. Tak akan ada gencatan bercinta di kamar selama hampir sebulan.”

“Bisakah kau mengecilkan volume suaramu? Lihat aturan yang tertempel di jendela, dilarang bicara keras. Suaramu mengganggu konsentrasiku mengemudi. Jika tidak bisa, kau bisa naik angkutan lain!” sopir perempuan keturunan Afrika bertubuh tambun tinggi besar menegur dengan nada tinggi. Beberapa penumpang juga menunjukkan wajah tidak suka pada lelaki itu.

“Maaf. Aku tak akan bersuara keras lagi,” lelaki itu menanggapi, lalu berpindah, duduk tepat di sampingku. “Wanita memang harus dituruti dan diperhatikan,” bisiknya padaku.

Ketika bus melewati halte Jackson Broadway, lelaki itu membuka botol air mineral yang ia ambil dari tas kain miliknya. Ia minum beberapa teguk kemudian menyiramkan sedikit air di kepalanya. Tanpa kuduga ia memercikkan air ke arah kepalaku. Lelaki kurang ajar dan tak punya sopan santun, bisikku dalam hati.

“Apa yang kamu lakukan? Lihat wajah dan rambutku basah!” kataku kesal.

“Maaf, aku bercanda. Jangan marah. Di tengah hawa panas kita harus bisa mendinginkan hati.” Ia mengambil tisu dari tasnya dan mengulurkannya padaku untuk kugunakan menyeka bulir-bulir air yang masih menempel di mukaku.

“Aku bermimpi membawa istriku tinggal di negara berhawa sejuk dan sumber air jernih paling bagus. Pasti nyaman dan menyehatkan. Ngomong-ngomong, namamu siapa dan dari mana?”

“Fajri dari Indonesia,” jawabku.

“Oh, Indonesia. Namaku Tom. Aku ingin mengunjungi Indonesia. Negeri impian untuk merajut kemesraan. Tapi aku belum punya cukup uang untuk pergi ke sana. Ada teman sekolahku yang berlimpah harta dan menikahi gadis Indonesia, punya rumah besar di sebuah pulau indah dengan udara yang segar, pemandangan indah dan air yang jernih. Tak perlu pendingin ruangan di sana. Angin berhembus semilir dan segar. Kamu ke sini dalam rangka apa?”

“Kuliah.”

“Kemudian setelah lulus?”

“Aku ingin tinggal di sini untuk bekerja.”

“Kau nanti pasti akan berubah pikiran. Louisville panas. Tak mudah mencari pekerjaan di sini. Kau harus bersaing dengan orangorang Amerika kulit putih sepertiku dan para pendatang lain. Aku asli Louisville, tapi tak pernah dapat pekerjaan bergengsi. Kerjaku serabutan.”

“Aku ingin mencari pengalaman bekerja di sini.”

“Tapi nanti jika terjadi perang dunia ketiga antara Cina dan Amerika, kamu pasti tak akan mau tinggal di sini. Cina dan Amerika terus berebut pengaruh. Mereka sepertinya akan saling menyerang, saling menghujani bom. Bukit-bukit hijau di Louisville akan dikepung asap mesiu. Air bersih akan tercemar. Alam dan gedunggedung terbakar. Instalasi listrik rusak. Istriku pasti merasa makin tersiksa. Tak ada lagi pendingin ruangan. Perang harus kita kutuk! Kau sebaiknya pulang, jika perang berkecamuk. Jika aku punya uang, aku dan istriku akan melancong ke negerimu.”

“Tentu aku akan pulang. Daripada mati di sini.”

“Pilihan tepat. Kau bisa memajukan negaramu dengan ilmumu. Tetapi jangan lupa, buat istrimu merasa sejuk di rumah,” saran Tom sambil tertawa keras.

Tiba-tiba bus berhenti mendadak. “Sekali lagi Bapak tertawa, silahkan Bapak turun!” sopir nampaknya benar-benar marah.

“Maaf, aku tak bisa menahan tawa.”

Sopir kembali menjalankan bus dengan wajah jengkel. Cara mengemudinya tak lagi nyaman seperti sebelumnya.

“Bapak turun di halte mana?” tanyaku sambil berharap ia cepat turun karena aku makin merasa terganggu diajak bicara terus menerus.

 

“Di halte Market Street kemudian berganti bus nomor 4 tujuan Southern Height Avenue. Dari sana aku harus berjalan hingga rumah. Apakah kamu mau membantuku mengangkat pendingin ruangan ini sampai rumahku? Aku sudah tidak sabar menunjukkannya pada istriku.”

Aku diam sejenak, ragu. Perangai Tom agak aneh. Namun aku tak tega melihat wajahnya yang tampak kelelahan sejak ia masuk bus.

“Baik. Akan aku bantu.”

“Anda baik sekali. Istriku pasti sudah menunggu.”

Setelah bus tiba di halte Southern Height Avenue, aku dan Tom mengangkat pendingin ruangan, menyusuri jalan West Whitney Avenue. Keringat Tom berjatuhan dan napasnya terdengar berat ketika kami tiba di depan sebuah rumah yang terlihat tua di sudut jalan. Tak begitu besar, namun cukup terawat. Tom memberikan aba-aba padaku untuk menurunkan pendingin ruangan di lantai setelah kami menaiki tangga beranda. Ia memutar gagang pintu, namun pintu tak bisa dibuka.

“Ke mana istriku?” tanyanya pada diri sendiri.” Ia seharusnya menyambutku dan melihat barang impiannya ini.”

Dalam gelisah Tom mencari sesuatu di dalam tasnya. Telepon genggam. Ia menghubungi nomor istrinya. Tapi hanya terdengar nada panggilan.

“Dasar perempuan tak sabar. Tak betah panas. Diminta menunggu malah pergi,” kata Tom dengan nada kesal.

Kemudian ia seperti mengingat sesuatu sejenak dan merogoh tasnya. Ia lega menemukan kunci. Setelah pintu terbuka, aku dan Tom mengangkat pendingin ruangan ke dalam. Kondisi rumah sepi. Tak ada siapa-siapa. “Dia pergi tanpa pamit,” gumamnya. “Mari kita bersantai di taman belakang. Kau pasti lelah.”

Ketika Tom dan aku berjalan menuju pintu belakang, Tom terkejut melihat pintu terbuka. Ketika aku mengikutinya melewati pintu belakang menuju taman yang kurang terawat, aku melihat seorang perempuan duduk di atas kursi kayu dengan telinga tertutup headphones, memandangi pohon Cladrastis Kentukea di sudut taman. Tom menyentuh pundaknya.

“Aku kira kau minggat ke San Fransisco,” kata Tom.

“Jaga bicaramu! Aku tadi menunggumu dalam rumah. Makin siang udara di dalam makin panas. Akhirnya aku ke sini. Kau dapat pendingin ruangan?”

“Iya. Kenalkan, ini Fajri dari Indonesia, ia yang membantuku mengangkat pendingin ruangan.”

“Lin Fu. Terima kasih telah membantu suami saya,” istri Tom yang cantik memperkenalkan diri. Ia mengenakan kaos ketat dan celana pendek. Rambutnya indah dan panjang tergerai. Umurnya sepertinya jauh lebih muda dari Tom.

“Meski nenek moyang istriku ini dari Beijing, tapi dia lahir di San Fransisco. Orangtuanya punya restoran di China Town di San Fransisco,” kata Tom.

“Kau pasti tahu San Fransisco tidak panas seperti Louisville,” kata Lin Fu padaku.

Aku kemudian diajak menuju ruang tamu dan disuguhi jus apel.

“Kamar akan segera sejuk,” kata Tom pada Lin Fu.

“Kau sudah memanggil tukang untuk memasang pendingin ruangan ini?”

“Oh, Tuhan. Aku lupa. Aku tadi membayangkan bisa memasangnya sendiri.”

“Jangan berimajinasi! Cepat cari tukang! Atau nanti malam kau tidur di luar kamar lagi!”

Mendengar nada bicara Tom dan Lin Fu meninggi, aku menyela dan segera berpamitan karena aku tak mau terlibat urusan pribadi mereka. Tom dan Lin Fu mengantarku hingga depan rumah. Aku berjalan melintasi halaman menuju halte bus. Dari jauh aku mendengar mereka bertengkar di beranda. Kemudian kulihat mereka masuk rumah, dan setelah itu samar-samar terdengar suara barang dibanting dengan keras.

 

 

Yusri Fajar menempuh S-2 sastra di University of Bayreuth Bayern, Jerman. Pada Juni-Juli 2016, ia mengikuti short course Contemporary American Literature di University of Louisville, Kentucky USA. Buku cerpennya Surat dari Praha (2012).

Leave a comment